MALAM SATU SURO, KEMBALINYA KESAKRALAN JAWA DI DAERAH DAERAH JAWA TIMUR
Kita semua telah melewati malam satu suro, dan sekarang kita juga masih berada di bulan yang sakral ini. Bulan suro adalah bulan yang sakral bagi orang Jawa. Itu adalah bulan pertama dalam kalender Jawa. Kalender yang dibakukan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo dengan referensi penanggalan hijriyah islam pada tahun 1840 Masehi untuk persatuan masyarakat Jawa. Suro berasal dari kata “Asyuro” yang berarti hari kesepuluh bulan Muharram. Tragedi besar yang terjadi di hari itu menjadi kenangan kelam yang abadi dalam lubuk hati orang orang Jawa. Karena itu di bulan Suro ini apalagi di malam satu Suro semua masyarakat Jawa melakukan tradisi tradisi yang mengembalikan mereka pada kejawaan yang sejati.
Masyarakat jawa memang filosofis. Semua tradisi yang mereka lakukan memiliki makna yang dalam dan penuh simbol. Termasuk saat memperingati bulan suro yang sakral ini. Banyak daerah daerah di Jawa Timur, melakukan berbagai ritual dan tradisi yang adiluhung dan penuh arti. Semua tradisi dan ritual itu akan mengembalikan kejawaan kita yang sedikit terlupakan. Momen malam satu suro memang ibarat tempat pengalasan yang mempertajam kembali falsafah falsafah jawa dalam diri kita.
Misal di daerah gunung raung misalnya. Gunung yang terletak di wilayah besuki tersebut melakukan ritual di malam satu suro. Banyak warga dari berbagai wilayah mendaki ke puncak gunung raung dan melakukan ritual ritual malam satu suro. Mereka membawa pelepah daun pisang, diisi dengan makanan makanan dan hasil bumi. Mereka berdzikir di tengah malam, dilanjut dengan tahajud berjamaah, dan berdoa bersama memohon keselamatan dan keberkahan selama setahun kedepan. Kemudian diakhiri dengan makan bersama duduk beralaskan bumi ditemani pincuk daun pisang. Ini adalah kearifan lokal yang luhur. Karena membuat manusia dekat dengan alam. Keakraban sebagai sesama manusia juga dimunculkan. Sesuatu yang mulai hilang di kota kota besar.
Kota di Jawa Timur lain yang melakukan tradisi di malam satu suro adalah Mojokerto. Di Mojokerto ada yang namanya ruwat agung nuswantoro. Pemkab Mojokerto memiliki koleksi 97 keris, tombak dan pedang pusaka yang berusia ratusan tahun sejak era majapahit. Di malam satu suro pemkab Mojokerto membasuh semua pusaka pusaka itu dengan air tujuh sumur suci yang dibangun sejak zaman majapahit. Ini adalah tradisi yang adiluhung. Pusaka pusaka itu adalah warisan leluhur. Menjaga dan memuliakan warisan leluhur sudah menjadi jati diri orang jawa. Leluhur dan keagungannya tidak boleh dilupakan, tapi harus diwariskan ke generasi penerus. Orang orang jawa adalah orang orang berhati lembut. Tidak kasar apalagi brutal. Setiap keindahan tidak mereka rusak tapi diwariskan.
Dan bicara tentang pusaka. Apa kau tahu tentang keris? Keris adalah pusaka asli tanah jawa. Keris atau mlungker mlungker ning bisa ngiris diciptakan dengan filosofi yang dalam. Keris dengan bentuknya sangat tidak efektif untuk membunuh manusia atau binatang. Keris adalah simbol bagi manusia jawa yang sudah dewasa. Setiap pemuda jawa yang sudah dewasa pada zaman dahulu selalu diwariskan keris oleh ayahandanya. Entah itu keris warisan dari leluhur atau keris baru yang ditempa oleh empu sakti. Keris selain sebagai simbol kedewasaan, juga sebagai simbol pembunuhan diri ego manusia. Untuk menjadi laki laki sejati, haruslah bisa membunuh ego dalam diri sehingga bisa membahagiakan perempuan. Dengan terbunuhnya ego seorang pria maka pernikahan akan menjadi langgeng. Jadi membasuh keris pusaka jawa adalah momentum mengingat kembali kedewasaan kita sekaligus momentum pemaknaan kembali pembunuhan ego diri. Sejauh mana itu dilaksanakan dalam keseharian kita.
Gebyar bulan suro juga diperingati dengan semarak di Ponorogo Jawa Timur. Negeri seribu reog itu memperingati suro dengan mengadakan grebeg suro ponorogo. Dalam gerebeg suro Ponorogo ditampilkan tarian reog ponorogo yang mewah di alun alun ponorogo. Pengenalan kesenian Reog tentu harus selalu diadakan untuk generasi generasi muda di Ponorogo. Jika tidak tradisi itu bisa hilang dan tergerus zaman padahal itu adalah tradisi asli dari ponorogo. Melalui momentum bulan suro pulalah pelestarian tradisi itu terus digalakkan. Di grebeg suro Ponorogo pulalah ditampilkan berbagai macam pusaka kuno yang dimiliki oleh pemkab Ponorogo. Pusaka pusaka kuno sejak era mataram tersebut dipamerkan dan dijelaskan sejarahnya kepada pemuda pemudi Ponorogo agar mereka tidak tercerabut dari akar masa lalunya yang gilang gemilang. Tentu ini juga merupakan kearifan yang luhur mulya dari pemkab Ponorogo.
Lain di Ponorogo, lain pula di Magetan. Di magetan ada yang namanya ledug suro. Ledug suro adalah kegiatan menabuh seribu bedug di alun alun magetan sambil membagikan ribuan kue bolu ke masyarakat yang menonton. Ledug suro menjadi momentum bagi masyarakat magetan untuk melestarikan jajanan khasnya yaitu kue bolu. Makanan khas suatu daerah haruslah dilestarikan dan diwariskan pada generasi penerus. Hal itu dilaksanakan oleh masyarakat Magetan melalui serangkaian acara di bulan suro.
Peringatan bulan suro juga sangat meriah di Blitar. Bumi kelahiran bung Karno itu merayakan suro dengan sebuah acara bernama grebeg tumpeng agung. Grebeg tumpeng agung adalah sebuah perayaan suro dengan membuat dua tumpeng berbentuk laki laki dan perempuan menggunakan segala hasil bumi yang dimiliki warga. Tumpeng laki laki dan perempuan adalah simbol bahwa hidup akan damai ketika laki laki dan perempuan saling berharmoni menciptakan keseimbangan.
Gunung lawu pun tak kalah dalam melakukan perayaan bulan suro. Menjelang malam bulan suro, banyak pendaki yang sudah mendaki sejak pagi hari. Mereka berusaha untuk tiba di puncak ketika matahari terbenam yang menandakan dunia sudah memasuki bulan suro. Mereka sholat, berdzikir, dan bermunajat di langit suro agar kehidupan setahun ke depan mendapatkan keberkahan.
Di malam suro kebanyakan masyarakat Jawa Timur juga melakukan tirakatan di masjid kampungnya masing masing. Mereka lek lek an alias tidak tidur semalaman sampai terbitnya matahari. Mereka sholat, berdoa, dan bermunajat kepada Gusti Allah ta’ala memohon keberkahan sepanjang tahun.
Seperti itulah momentum malam satu suro bagi warga warga di Jawa Timur. Banyak ritual dan tradisi filosofis yang mengembalikan manusia jawa ke dalam kodratnya. Momen malam satu suro adalah malam berkaca bagi manusia manusia untuk kembali ke akar leluhurnya. Kegiatan tirakatan di masjid masjid membuat manusia kembali mendekat kepada penciptanya. Doa doa yang dipanjatkan menunjukkan pengharapan dan ketakutan kita sebagai manusia. Membersihkan makan dan ziarah ke makam kerabat dan sanak saudara menjadikan bulan suro menjadi momentum manusia jawa mengingat dan ngabekti pada leluhurnya. Ngumbah pusoko, pagelaran seni, tumpengan dan pembagian makanan tradisonal di tiap tiap daerah juga menunjukkan bahwa masyarakat Jawa Timur senantiasa melestarikan tradisi, kesenian, dan budaya leluhurnya. Momen malam satu suro juga menjadi momentum bagi manusia jawa untuk kembali mendekat dengan alam semesta. Mereka bermunajat di gunung gunung, pantai, atau sungai sungai keramat. Tentu hal ini tidak bisa dihukumi sebagai syirik atau bid’ah. Manusia mengagumi alam semesta ciptaan Tuhan kemudian hanya berdzikir dan memohon kepadanya. Itulah salah satu ciri khas manusia jawa. Dan tidak boleh dilupakan, bulan suro juga menjadi momentum keakraban dan guyup rukun manusia manusia Jawa. Di malam satu suro orang orang berkumpul di alun alun, gunung, pantai, tempat tempat keramat. Mereka saling bercengkrama dan bersenda gurau menyaksikan pagelaran seni, makan makan, atau berdzikir bersama. Bukankan kebersamaan sebagai sesama manusia itulah keindahan sejati dalam hidup yang fana dan sementara ini?
Pada akhirnya malam satu suro adalah malam sakral bagi manusia manusia Jawa. Malam yang membuat kita merenungkan kembali arti kemanusiaan kita. Malam pengharapan kepada Tuhan yang maha kuasa. Malam keakraban sebagai sesama manusia. Sebuah malam dimana kita menginsafi kembali hakikat alam dan tradisi adiluhung yang kita punya.
Biodata Penulis
|
Nama lengkap : Arifin Agung Prabowo, S.Pd. Ponsel : 081357482794 Pos-el : arifinyana19@gmail.com Akun IG : Ripenmageti90 Alamat kantor : Jalan Raya Kawah Ijen, Sempol, Ijen, Bondowoso Bidang keahlian : Bahasa dan Sastra Indonesia
|
|
Riwayat pekerjaan/profesi (10 tahun terakhir):
1. 2016–2017: Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMPN 4 Dulupi Gorontalo
2. 2018 : Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMPN 5 Malanh
3. 2018 – sekarang : Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMKN 1 Sempol Bondowoso
Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:
1. S-1: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP PGRI Madiun (2009 —2014)
2. PPG Pra Jabatan : Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Universitas Negeri Malang (2017 - 2018)
Informasi Lain:
Lahir di Magetan, 19 Desember 1990. Telah menikah dan berputera satu (Kei Keandra Wijaya). Menggeluti hal-hal yang berbau pendidikan, bahasa, dan sastra. Bekerja sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia di SMKN 1 Sempol Bondowoso sejak 2019. Sekarang tinggal di desa Sempol, Kecamatan Ijen, Kabupaten Bondowoso.
